Ma'afkan aku wahai isteriku,
baru kusadari bahwa tangan halusmu,
kaki mulusmu,
serta wajah cantikmu
kini telah berubah, memudar, berkerut berhias garis-garis kecil dan sedikit kasar.
Mahkotamu kebangganku tak lagi kencang sekarang,
Sejujurnya itu sedikit mengganggu pandangan lahirku. .... Namun inilah sesalku wahai isteriku
Aku tak lagi bisa mempertahankan semua itu ... Karena sesungguhnya bukan itu yang terpenting dalam visiku, walau itupun adalah bagian yang penting bagiku.
Isteriku, ....
Tangan serta kakimu dulu begitu kuat sekuat gunung batu,
Kini tak ada lagi, hanya bisa menopang satu tubuh mungil yang bergelayutan di mahkotamu
Wajah cantikmu dengan pesona khas anugrah rabbani yang menggetarkan dawai-dawai asmara yang bergejolak didada
Kini seolah pesona khas itu memudar, dawai-dawai asmara di dada satu demi satu menipis nyaris terpatahkan.
Wajah indah itu mulai berlukis garis-garis, bergambar noktah-noktah
Isteriku, ....
Kusadari sepenuhnya lukisan garis-garis itu engkau nyatakan sebagai tanda kesungguhan bakti sucimu kepadaku,
Lukisan garis-garis dan gambar noktah itu menyisakan makna terdalam dalam hidupmu,
bermakna ketulusan, kegetiran, rasa was-was, miris serta berkecamuk amuk amarah yang engkau senantiasa lerai dengan keikhlasan
Kuingat ketika engkau mengandung, melahirkan, memomong dan membesarkan anak-anak kita, satu, dua, tiga dst. ... maka bertambah sepuluh garis diwajahmu.... lelah
Kulihat mimik was-wasmu ketika aku meninggalkanmu dalam kesendirian dengan beban hidup yang demikian berat,
Kusaksikan Engkau miris, getir dan khawatir hingga bentukan garis-garis dan noktah diwajah mu menjadi simpanan semua asa dan rasa yang mendalam.
Namun semua itu tak kau nampakan dihadapanku
karena bibirmu selelu berhias senyum yang menyejukkan.
kegetiran yang kau rasakan kian tak nampak sebab engkau poleskan sinar kesabaran di keseharian
was-was tak engkau pasangkan dalam kegundah gulanaan dihadapan anak-anak mu
sebab engkau selalu waspada akan segala akibat was-was yang terpasang pada wajah yang nanti akan terlihat anak-anak kita.
Miris tak kau larutkan di elegi pagimu, karena senandung tasbih tahmid tahlil dan takbirmu senantiasa hadir dari mulut mungilmu.
Isteriku, dengan rasa takzimku kepadamu..... maafkan aku, maafkan aku, maafkan aku.
Suamimu.
baru kusadari bahwa tangan halusmu,
kaki mulusmu,
serta wajah cantikmu
kini telah berubah, memudar, berkerut berhias garis-garis kecil dan sedikit kasar.
Mahkotamu kebangganku tak lagi kencang sekarang,
Sejujurnya itu sedikit mengganggu pandangan lahirku. .... Namun inilah sesalku wahai isteriku
Aku tak lagi bisa mempertahankan semua itu ... Karena sesungguhnya bukan itu yang terpenting dalam visiku, walau itupun adalah bagian yang penting bagiku.
Isteriku, ....
Tangan serta kakimu dulu begitu kuat sekuat gunung batu,
Kini tak ada lagi, hanya bisa menopang satu tubuh mungil yang bergelayutan di mahkotamu
Wajah cantikmu dengan pesona khas anugrah rabbani yang menggetarkan dawai-dawai asmara yang bergejolak didada
Kini seolah pesona khas itu memudar, dawai-dawai asmara di dada satu demi satu menipis nyaris terpatahkan.
Wajah indah itu mulai berlukis garis-garis, bergambar noktah-noktah
Isteriku, ....
Kusadari sepenuhnya lukisan garis-garis itu engkau nyatakan sebagai tanda kesungguhan bakti sucimu kepadaku,
Lukisan garis-garis dan gambar noktah itu menyisakan makna terdalam dalam hidupmu,
bermakna ketulusan, kegetiran, rasa was-was, miris serta berkecamuk amuk amarah yang engkau senantiasa lerai dengan keikhlasan
Kuingat ketika engkau mengandung, melahirkan, memomong dan membesarkan anak-anak kita, satu, dua, tiga dst. ... maka bertambah sepuluh garis diwajahmu.... lelah
Kulihat mimik was-wasmu ketika aku meninggalkanmu dalam kesendirian dengan beban hidup yang demikian berat,
Kusaksikan Engkau miris, getir dan khawatir hingga bentukan garis-garis dan noktah diwajah mu menjadi simpanan semua asa dan rasa yang mendalam.
Namun semua itu tak kau nampakan dihadapanku
karena bibirmu selelu berhias senyum yang menyejukkan.
kegetiran yang kau rasakan kian tak nampak sebab engkau poleskan sinar kesabaran di keseharian
was-was tak engkau pasangkan dalam kegundah gulanaan dihadapan anak-anak mu
sebab engkau selalu waspada akan segala akibat was-was yang terpasang pada wajah yang nanti akan terlihat anak-anak kita.
Miris tak kau larutkan di elegi pagimu, karena senandung tasbih tahmid tahlil dan takbirmu senantiasa hadir dari mulut mungilmu.
Isteriku, dengan rasa takzimku kepadamu..... maafkan aku, maafkan aku, maafkan aku.
Suamimu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar