"Jangan kaukira cinta datang dari keakraban yang lama dan pendekatan yang tekun. Cinta
adalah anak kecocokan jiwa dan jika itu tidak pernah ada, cinta tak akan pernah
tercipta dalam hitungan tahun bahkan milenia"
Itulah salah satu kata bertuah dari Sang Maestro.
Penyair, filosof dan "sang nabi" dari Lebanon, Khalil Gibran.
Ungkapan Khalil Gibran tsb terkesan menolak
kata-kata bijak yang hidup di negeri ini, Tresno jalaran soko kulino.
Cinta lantaran terbiasa.
Namun, sebenarnya mungkin tidak. Para orang tua
kita dulu, melihat cinta sebagai suatu proses. Bagaimana mungkin, dua anak
manusia yang berlainan jenis bisa tiba-tiba saling jatuh cinta, tanpa mengenal
lebih dahulu. Cinta tidak mungkin hidup hanya sekedar melihat penampilan
sesaat. Yang tumbuh di hati, barangkali sebatas simpatik.
Sementara Khalil Gibran melihat cinta dari sudut
maknanya. Cinta merupakan kecocokan jiwa. Tanpa itu, sekalipun dua anak manusia
diikat tali perkawinan, takkan tumbuh perasaan cinta. Yang hidup, hanya sebatas
saling membutuhkan atau rasa kasihan.
Namun, baik Khalil Gibran maupun para orang tua
kita sepakat. Cinta tidak boleh dilandasi nafsu. Gibran malahan menggambarkan
dengan kata-kata indah, "Cinta yang penuh nafsu adalah dahaga yang tak
terobati". Dia akan menjadi budak nafsu, yang terus menerus mencari
korban.
Gibran juga mengingatkan, cinta tidak boleh
dipaksakan. Dia akan tumbuh alami, menembus sekat-sekat yang ada, karena cinta
memang tak mengenal status atau usia
Tapi tampaknya, apa yang digambarkan Gibran tak
mudah dilaksanakan. Kerapkali kita terjebak yang sifatnya duniawi. Cinta bukan
hanya sekedar perasaan, tapi lebih banyak diterjemahkan menguasai dan memiliki.
Siapapun yang menghalanginya akan didobrak dan diterjang, bahkan dimusnahkan,
termasuk orang yang kita cintai.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar