"Hirup lain meunang kahayang, estu nuturkeun catur Nu Maha Luhur, maparkeun lampah carita kitab kahirupan nu aya di Lauhil Mahfudh."
Manusia, dengan segenap kesempurnaan penciptaannya digelar ke dunia tiada lain guna memapar sebuah riwayat keagungan sang pencipta. Akankah manusia bermain dengan baik dalam paparan kehidupannya atau sebaliknya manusia menjadi faksi penentang sekenario maha karya terlengkap dari Sang Kreasi luhung nan agung. Masa sebelum manusia dilahirkan ke dunia sejauh itu telah ditentukan bahwa ia adalah penanggung jawab paparan carita dari maha karya sekenario ilahiyah tadi, yang mau tidak mau suka tidak suka ia adalah pelakonnya. Bahkan bahagia celakanya manusia tertulis dalam "buku kehidupan" sebagai wujud ujian yang mesti dijalani dengan ikhlas dan suci hati.
Kalau demikian adanya bagaimanakah manusia menempatkan kehendaknya dalam memilah dan memilih hidup yang akan dijalaninya. Apakah ketika ia menentukan jalan pilihannya gugur sudah ia jadi pelakon yang sesungguhnya dari sekenerio Sang Kreasi Luhung tersebut? Ataukah ia hanya dan hanya pelengkap dari lakon sebenarnya?
Tak seorangpun mengetahui akan menjadi apa dirinya pada kehidupan hari ini. Tak seorang pun mengetahui apakah ia menjadi pelakon utama atau bukan dalam memapar riwayat keagungan Illahi. Namun yang perlu diketahui harus menjadi apa dan bagaimana ia menjadi pelakon sejati dari paparan pesan ilahiyah tersebut. Sejatinya pesan dan sekenario illahiyah yang termaktub dalam buku kehidupan dan menjadi sebuah jawaban atas berbagai persoalan yang barusan muncul sehubungan dengan peran dan keinginan manusia melakoni kehidupan kini. Pelakon sejati dan penentang sejati keduanya adalah bagian dari paparan riwayat keagungan Pencipta. Keduanya telah jelas dan sangat jelas secara normatif (nilai-nilai benar dan salah) maupun naluriah dan intuitif manusiawi, bahwa pelakon sejati sebagai sosok pilihan Sang Pencipta akan memenangkan percaturan dunia sedangkan penentang sebagai seorang dan sekelompok orang yang benar-benar telah menjadi penentang atas yang semestinya terjadi berkahir sebagai pecundang. Maka jadilah dua lakon yang terus bersambung dengan masing-masing generasi yang mewarisi tradisi keduanya, terus dan terus hingga dunia ini berkahir.
Persoalan lain yang terjadi mengapa meskipun secara tata nilai telah diketahui antara pelakon dan penentang sejati atas paparan cerita keagungan sang pencipta ini akan berakhir bahagia dan celaka, namun generasi yang mewarisi dan mengikuti penentang malah sangat banyak dari pelakon sejati? Alih-alih muncul sebuah pengakuan bahwa ternyata menjadi pelakon sejati itu tidak mudah, banyak onak dan duri yang merintangi setiap gerak dan langkah menuju ke arahnya. Sebuah pengakuan yang bukan keluar dari pernyataan verbal dari rongga mulut, namun lebih kepada laku yang mencerminkan pendirian searah jarum hati yang condong menafikan niali sebuah kebenaran.
Sebaliknya walau secara normatif telah diakui bahwa pelakon sejatilah ayang akan berakhir dengan membawa sebuah kemenangan namun kenyataannya sangatlah terbatas jumlah yang ikut dan mewarisinya. Sangatlah disadari betapa mirisnya membawa "bara api" kebenaran sejati, dilepas mati digenggam panas membara. Sehingga cerminan realita bahwa berkata atas nama kejujuran hati ialah menjadi penentang justru lebih mudah dan menjanjikan dalam setiap garis kehidupan. Sehingga kepura-puraan sebagai reaksi sebenarnya dari sebuah kejujuran menjadi marak dalam memerankan lakon kehidupan. Penolakan atas hakikat kebenaran dibungkus dengan produk-produk mewakili nama kebenaran sejati, bahkan pada gilirannya pelecehan dan penistaan kepada nilai-nilai kebenaran itu sendiri.
Jadi bagaimana kita bersikap atas keinginan atau hasrat yang sesungguhnya tidak terlepas dari kehendak (qudrot dan irodat ) Alkholiq? Ada sebuah kepatutan dalam segala hal yang telah menjadi rumus kehidupan kini dan nanti. Kepatutan yang melekat pada penciptaan manusia terlepas dari apa dan siapa manusia itu sekarang. Yang jelas kita manusia dicipta dengan satu alasan yakni mengagungkan dan memulyakan Dzat Alloh Al-Adhim Al-Karim dalam setiap gerak gerik kehidupan. Ibadah dengan segala dimensinya dan manifestasinya itulah sebuah kepatutan dari apa saja riak hati yang muncul termasuk di dalamnya sebuah keinginan.
Wallohu'alam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar